Pagi
yang dingin. Angin dingin. Hari yang dingin. Titik air bekas hujan semalam menempel
malu-malu di permukaan dedaunan. Matahari malas beranjak dari peraduannya. Sebentar
terang, sekejap menghilang. Namun tidak menyurutkan langkahku beranjak dari
belaian si cantik mimpi. Kaki tegar, melangkah. Melompat kecil menghindari cileuncang.
Kaki
melepas lelah, di depan Dago Cikapayang. Orang-orang lalu lalang, berjalan
kaki, bersepeda memasuki car free day Dago.
Lelah terbayar oleh alunan lagu Raisa yang membelah Jalan Dago. Meluncur ke
Dago atas, berhenti di depan SMA 1 Bandung. Tepat di bawah jembatan aku melihat
sesosok tubuh penuh tato, rambut pendek, berbaju Persib dengan nomor punggung
17 dengan nama Ferdinand di atasnya. Otak langsung bekerja. “Wah... Ferdinand
Sinaga?”
Tanpa
basa basi. Dengan langkah kilat. Aku buru sosok itu. Sedikit SKSDA (Sok Kenal
Sok Dekat Sok Akrab) aku sapa lelaki itu.
“Wilujeung Enjing! Kang Ferdinand
nya?”
“Oh.. Wilujeung Enjing! Betul
saya Ferdinand. Siapa ya?”
“Oh...
Saya Aa Ruslie, tapi bukan Aa Gym, bobotoh
Persib, penggemar anda.”
Tanpa
ba... bi... bu.. Aku ajak Ferdinand
berselfie ria. Kemudian aku ajak
duduk di atas trotoar.
Dengan
lagak seperti Jeremi Teti... eit Jangan-jangan.Terlalu
alay. Dengan gaya Aiman penyiar Kompas TV aku bertatap muka dengan Ferdinand
Sinaga.
“Punteun Kang! Kenapa
Kang Ferdinand ada di sini? Bukannya sudah di Sriwijaya FC (SFC)?”
“Jadi teu meunang saya ada di sini?”
Tiba-tiba Ferdinand morongos.
“Eh...Punteun Kang sanés kitu.”
“Lah bohong manéh mah. Begini
juga saya sudah bawa Persib juara.”
Sebelum
Ferdinand mengamuk lebih hebat aku buru-buru panggil tukang susu Pangalengan
yang kebetetulan lewat. Apes... Keur teu
boga duit teh kudu ngamodal. Tapi baelah nu peunting mah Ferdiand teu
ambeuk-ambeukan. Setelah diberi segelas susu kecil Pangalengan muka
Ferdinand rada berseri-seri.
“Enak.
Beli lagi dong!”
Aku
terpaksa membelikan segelas lagi.
“Kamu
ga minum?”
“Tidak,”
jawabku pelan. Padahal tenggorokan mah ngeuclak, kabita. Tapi apa daya duit
tak ada. Datang ke sini juga jalan kaki. Mapay-mapay
jalan kandaraan. Cape pisan.
“Bagaimana
perasaan.....”
Sebelum
aku menyelesaikan pertanyaan terdengar dari kejauhan seseorang berteriak,’Ferdinand...
Ferdinand...!” Ferdinand menoleh.
“Kemana
saja aku cari-cari?” tanya orang itu.
“Dari
tadi aku di sini. Sedang wawancara,” jawab Ferdinand.
Orang
itu melirik kepadaku. Aku tersenyum sambil sedikit kaget.
“Iya
Ferdinand Sinaga sedang wawancara dengan saya.” Tanpa diminta aku menerangkan.
“Ferdinand
Sinaga? Ini Ferdinand Sinaga?”
‘Iya...,”
jawabku.
“Ha....
ha.... ha....” Orang itu tertawa ngakak.
“Ini
mah bukan Ferdinand Sinaga Kang. Tapi
Ferdinand Sicacing.” Orang itu kembali tertawa.
“Jadi
akang bukan Ferdinand Sinaga?” Aku
mencoba meyakinkan.
“Iya
saya mah Ferdinand Sicacing.”
“Naha atuh ngaku Ferdinand Sinaga pemain
Persib?”
“Ya
salah akang. Saya emang Ferdinand.
Pemain Persib P. Persatuan Sepak Bola Indonesia Balad Persib.”
“Bedul téh atah adol. Hanas pang
meulikeun susu.”
“Tong bendu kang. Hatur nuhun
susuna.” Ferdinand Sicacing nyeungir
Aku
marah besar tetapi terpendam. Dan karasa
eungap.
“Ayo
Kang, pergi dulu!” Ferdinand Sicacing dan temannya meninggalkanku. Aku kesal,
marah, dan bodoh. Tahu Ferdinand sudah di SFC masih tetap nyangka di Persib. Ferdinand sudah bukan darah biru lagi tetapi
sudah darah hijau alias mata du....an.
Dalam
kekesalanku aku masih dapat menatap Ferdinand Sicacing dan kawannya pergi.
Anehnya, dalam pikiranku berkecamuk, kok wajah temannya Ferdinand seperti wajah
penyanyi band papan atas asal Bandung. Siapa ya? Mau tahu? Tunggu kelanjutannya
di petualangan Aa Ruslie berikutnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar