Bung
Hatta mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Pernyataan beliau
ini diungkapkan pada saat beliau diangkat sebagai penasihat Presiden Soeharto
dan Komisi Empat yang dimaksudkan untuk memberantas korupsi pada tahun 1970.
Beliau merasa tidak berdaya menghadapi korupsi karena terbatas kepada memberi
nasehat saja. Walau begitu banyak bahan yang diperoleh sebagai bukti korupsi
yang dilakukan aparatur negara tetapi segala sesuatunya ditetapkan oleh
pemerintah itu sendiri.
Usaha
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun membentur batu cadas menyelidiki kasus
korupsi yang melibatkan aparat kepolisian. Hingga muncul istilah cicak vs buaya
yang berlanjut dengan cicak vs buaya dan banteng. Begitu sulitkah menghancurkan
korupsi yang telah merusak berbagai sendi kehidupan di tanah air tercinta ini?
Furnivall
(1957) menulis bahwa Nederland atau Hindia Belanda praktis bebas dari korupsi.
Pandangan ini diperkuat oleh orang Indonesia yang menyalahkan pemerintah
pendudukan Jepang sebagai pihak yang memperkenalkan korupsi. Namun pendapat ini
dibantah oleh Clive Day (1966) yang menggambarkan orang-orang yang bekerja pada
kompeni Belanda menerima gaji yang terlalu rendah dan mudah terkena godaan yang
diberikan oleh gabungan dari organisasi peribumi yang lemah dan peluang yang
luar biasa dalam perdagangan dan pengawasan yang hampir tidak ada sama sekali
dari negara asal.
Pendapat
senada diungkapkan oleh H. Rosihan Anwar dalam Napak Tilas ke Belanda : 60
tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 dalam prakteknya VOC memegang hak monopoli
perdagangan dan opperkoopman, atau
pedagang yang membawahi beberapa organisasi dagang di bawahnya. Dalam
melaksanakan tugasnya secara tidak langsung opperkoopman
banyak melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri. Selain berdagang bagi VOC dia sendiri memuat dalam
kapal kompeni barang-barang pribadi untuk diperjual belikan yang hasilnya tidak
disetorkan kepada kompeni. Dengan demikian orang pribumi tentunya melihat
tindak-tanduk korupsi pegawai Belanda tersebut dan cara-cara seperti itu ditiru
oleh warga pribumi.
Korupsi
searah dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Kemerdekaan sebagai pintu
gerbang menuju rakyat yang adil, makmur, dan sejahtera ternyata hanya dinikmati
segelintir orang terutama yang mempunyai akses terhadap kekuasaan. Berbagai
perlawanan terhadap korupsi yang dibentuk oleh pemerintah atau pun masyarakat
seakan tidak berdaya guna memberantas korupsi karena korupsi sangat erat
hubungannya dengan kekuasaan (politik).
Pada 13 Agustus 1956, surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani berdasarkan investigasi terlibat dalam korupsi dengan menerima nikmat keuangan dari Lie Hok Thay, wakil direktur Percetakan Negara. Dua jam sebelum berangkat menghadiri konferensi di London, Roeslan ditangkap atas perintah panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Alex Kawilarang. Namun adanya intervensi dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada waktu itu membatalkan perintah untuk menangkap Roeslan. Pada Desember 1956, Mochtar Lubis dihadapkan ke pengadilan atas tuduhan memfitnah dalam komentar tentang kasus Roeslan dan dalam klaim-klaim tajuk rencananya bahwa kabinet telah bersekongkol untuk menutup-nutupi fakta.
Pada 13 Agustus 1956, surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani berdasarkan investigasi terlibat dalam korupsi dengan menerima nikmat keuangan dari Lie Hok Thay, wakil direktur Percetakan Negara. Dua jam sebelum berangkat menghadiri konferensi di London, Roeslan ditangkap atas perintah panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Alex Kawilarang. Namun adanya intervensi dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada waktu itu membatalkan perintah untuk menangkap Roeslan. Pada Desember 1956, Mochtar Lubis dihadapkan ke pengadilan atas tuduhan memfitnah dalam komentar tentang kasus Roeslan dan dalam klaim-klaim tajuk rencananya bahwa kabinet telah bersekongkol untuk menutup-nutupi fakta.
Begitu
pun dengan nasib Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang diketuai
Jenderal A.H. Nasution. Beredar kabar menurut catatan H. Rosihan Anwar bahwa
Presiden Soekarno tidak senang dengan tindak tanduk PARAN, terutama bertalian
dengan “Operasi Budhi” yang menyelidiki apakah ada korupsi atau tidak dalam
pimpinan Perusahaan Dagang Negara. Masyarakat politik di Jakarta lantas
berspekulasi apakah Presiden mau menghantam Nasution? Apakah Chaerul Saleh yang
memang tidak senang dengan danya Operasi Budhi? Apakah pengusaha-pengusaha
“klik Istana” merasa diri terancam? Ataukah kaum vested interest dalam golongan militer yang duduk dalam
pimpinan-pimpinan Perusahaan Dagang Negara?
Begitu
menjelimetnya korupsi yang menggurita dalam kekuasaan (politik). Korupsi dan
kekuasaan bagaikan lem dan perangko yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
berjalan seiring dan saling membutuhkan. Sehingga ketika yang satu terusik maka
segera yang lainnya melindungi. Keluarga Soeharto serta kroninya sampai saat
ini tidak pernah tersentuh hukum yang berkaitan dengan korupsi. Meski pun
secara kasat mata terlihat bagaimana selama tiga puluh dua tahun mengeruk
kekayaan alam nusantara.
Yang
lebih menyakitkan ketika banyak anggota dewan hasil pemilu pasca reformasi
terjerat korupsi secara berjamaah. Padahal masih segar dalam ingatan bagaimana
mereka berteriak-teriak anti KKN dan menuntut mundur Presiden Soeharto yang
berkuasa selama kurang lebih tiga puluh dua tahun. Mereka tidak ada bedanya
dengan apa yang dilakukan oleh Soeharto. Bapak dan anak terlibat kasus korupsi.
Pada pemilu 2014 lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis 48 nama anggota DPR RI maupun DPRD terpilih yang
terjerat kasus dugaan korupsi dari berbagai wilayah yang terdata. Menurut
peneliti ICW Ade Irawan, pada tingkatan proses hukum saat ini 32 orang
politikus masih dalam proses penyidikan. Sedangkan 15 orang lainnya masih dalam
proses persidangan dan telah divonis bersalah di pengadilan (Kompas.com).
Korupsi
di Indonesia akan terus terjadi karena selama ini para pemegang kekuasaan tidak
mampu manahan serangan kapitalisme. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai benteng
pertahanan dari kaum kapitalis tidak mampu diaplikasikan oleh penyelenggara
negara. Justru yang terjadi adalah menjadi penyelenggara negara adalah kesempatan
untuk memenuhi ambisi pribadi dan golongannya. Tidak ada teladan dari penyelenggara
negara kepada rakyat yang dipimpinnya. Pola hidup mewah, konsumtif, hedonisme
merasuki para pejabat negara yang kemudian cenderung diikuti oleh rakyatnya.
Korupsi
tidak akan pernah mati karena sifat dasar manusia itu sendiri dihiasi oleh
keinginan atau kecenderungan terhadap syahwat atau hawa nafsu yang dibisikkan
oleh setan. Dalam Al Quran surat Ali Imron 14 disebutkan “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).
Di ujung ayat ini Allah mengingatkan bahwa kesenangan dunia ini tidak ada
artinya karena kebahagian di dunia ini hanya sekejap dan sebaik-baik kesenangan
adalah di akhirat kelak yaitu di surga.
Memberikan
hukuman penjara selama empat sampai lima tahun plus dipotong berbagai macam
grasi bagi koruptor adalah perbuatan yang sangat jauh dari rasa keadilan. Sebab
bila dianalisis fenomenologis terhadap korupsi dibuat maka akan didapati bahwa
unsur-unsur penting yang ada pada korupsi pada dasarnya adalah penipuan dan
pencurian (Edhie Dea ; 2011). Oleh sebab itu prilaku korupsi dapat dianggap
sebagai perbuatan merusak di muka bumi karena akibatnya dapat menghancurkan
tatanan kemaslahatan kehidupan orang banyak.
Oleh sebab itu Allah SWT memberikan solusi bagi kejahatan korupsi
sebagaimana tercantum dalam surat Al Maidah (5) ayat 33, “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan yang membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah : mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksa yang
besar.”
Menyaksikan
hukuman bagi para koruptor di tanah air, kita mungkin hanya dapat mengelus
dada. Ditambah dengan kegaduhan nasional yang cenderung sebagai upaya untuk
melemahkan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita tidak mampu berbuat
apa-apa. Namun kita tidak perlu berkecil hati sebab menurut ustad yang biasa ceramah
mingguan di mesjid mengatakan, ”Mungkin mereka di dunia tidak apa-apa namun di
pengadilan akhirat nanti perbuatan mereka pasti akan dipertanggungjawabkan.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar