Minggu, 01 Maret 2015

Korupsi Sepanjang Hayat



Bung Hatta mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Pernyataan beliau ini diungkapkan pada saat beliau diangkat sebagai penasihat Presiden Soeharto dan Komisi Empat yang dimaksudkan untuk memberantas korupsi pada tahun 1970. Beliau merasa tidak berdaya menghadapi korupsi karena terbatas kepada memberi nasehat saja. Walau begitu banyak bahan yang diperoleh sebagai bukti korupsi yang dilakukan aparatur negara tetapi segala sesuatunya ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri.
           
Usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun membentur batu cadas menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan aparat kepolisian. Hingga muncul istilah cicak vs buaya yang berlanjut dengan cicak vs buaya dan banteng. Begitu sulitkah menghancurkan korupsi yang telah merusak berbagai sendi kehidupan di tanah air tercinta ini?
           
Furnivall (1957) menulis bahwa Nederland atau Hindia Belanda praktis bebas dari korupsi. Pandangan ini diperkuat oleh orang Indonesia yang menyalahkan pemerintah pendudukan Jepang sebagai pihak yang memperkenalkan korupsi. Namun pendapat ini dibantah oleh Clive Day (1966) yang menggambarkan orang-orang yang bekerja pada kompeni Belanda menerima gaji yang terlalu rendah dan mudah terkena godaan yang diberikan oleh gabungan dari organisasi peribumi yang lemah dan peluang yang luar biasa dalam perdagangan dan pengawasan yang hampir tidak ada sama sekali dari negara asal.
           
Pendapat senada diungkapkan oleh H. Rosihan Anwar dalam Napak Tilas ke Belanda : 60 tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 dalam prakteknya VOC memegang hak monopoli perdagangan dan opperkoopman, atau pedagang yang membawahi beberapa organisasi dagang di bawahnya. Dalam melaksanakan tugasnya secara tidak langsung opperkoopman banyak  melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri. Selain berdagang bagi VOC dia sendiri memuat dalam kapal kompeni barang-barang pribadi untuk diperjual belikan yang hasilnya tidak disetorkan kepada kompeni. Dengan demikian orang pribumi tentunya melihat tindak-tanduk korupsi pegawai Belanda tersebut dan cara-cara seperti itu ditiru oleh warga pribumi.
           
Korupsi searah dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Kemerdekaan sebagai pintu gerbang menuju rakyat yang adil, makmur, dan sejahtera ternyata hanya dinikmati segelintir orang terutama yang mempunyai akses terhadap kekuasaan. Berbagai perlawanan terhadap korupsi yang dibentuk oleh pemerintah atau pun masyarakat seakan tidak berdaya guna memberantas korupsi karena korupsi sangat erat hubungannya dengan kekuasaan (politik). 

Pada 13 Agustus 1956, surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani berdasarkan investigasi terlibat dalam korupsi dengan menerima nikmat keuangan dari Lie Hok Thay, wakil direktur Percetakan Negara. Dua jam sebelum berangkat menghadiri konferensi di London, Roeslan ditangkap atas perintah panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Alex Kawilarang. Namun adanya intervensi dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada waktu itu membatalkan perintah untuk menangkap Roeslan. Pada Desember 1956, Mochtar Lubis dihadapkan ke pengadilan atas tuduhan memfitnah dalam komentar tentang kasus Roeslan dan dalam klaim-klaim tajuk rencananya bahwa kabinet telah bersekongkol untuk menutup-nutupi fakta.
           
Begitu pun dengan nasib Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang diketuai Jenderal A.H. Nasution. Beredar kabar menurut catatan H. Rosihan Anwar bahwa Presiden Soekarno tidak senang dengan tindak tanduk PARAN, terutama bertalian dengan “Operasi Budhi” yang menyelidiki apakah ada korupsi atau tidak dalam pimpinan Perusahaan Dagang Negara. Masyarakat politik di Jakarta lantas berspekulasi apakah Presiden mau menghantam Nasution? Apakah Chaerul Saleh yang memang tidak senang dengan danya Operasi Budhi? Apakah pengusaha-pengusaha “klik Istana” merasa diri terancam? Ataukah kaum vested interest dalam golongan militer yang duduk dalam pimpinan-pimpinan Perusahaan Dagang Negara?
           
Begitu menjelimetnya korupsi yang menggurita dalam kekuasaan (politik). Korupsi dan kekuasaan bagaikan lem dan perangko yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya berjalan seiring dan saling membutuhkan. Sehingga ketika yang satu terusik maka segera yang lainnya melindungi. Keluarga Soeharto serta kroninya sampai saat ini tidak pernah tersentuh hukum yang berkaitan dengan korupsi. Meski pun secara kasat mata terlihat bagaimana selama tiga puluh dua tahun mengeruk kekayaan alam nusantara.
           
Yang lebih menyakitkan ketika banyak anggota dewan hasil pemilu pasca reformasi terjerat korupsi secara berjamaah. Padahal masih segar dalam ingatan bagaimana mereka berteriak-teriak anti KKN dan menuntut mundur Presiden Soeharto yang berkuasa selama kurang lebih tiga puluh dua tahun. Mereka tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh Soeharto. Bapak dan anak terlibat kasus korupsi. Pada pemilu 2014 lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis 48 nama anggota DPR RI maupun DPRD terpilih yang terjerat kasus dugaan korupsi dari berbagai wilayah yang terdata. Menurut peneliti ICW Ade Irawan, pada tingkatan proses hukum saat ini 32 orang politikus masih dalam proses penyidikan. Sedangkan 15 orang lainnya masih dalam proses persidangan dan telah divonis bersalah di pengadilan (Kompas.com).

Korupsi di Indonesia akan terus terjadi karena selama ini para pemegang kekuasaan tidak mampu manahan serangan kapitalisme. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai benteng pertahanan dari kaum kapitalis tidak mampu diaplikasikan oleh penyelenggara negara. Justru yang terjadi adalah menjadi penyelenggara negara adalah kesempatan untuk memenuhi ambisi pribadi dan golongannya. Tidak ada teladan dari penyelenggara negara kepada rakyat yang dipimpinnya. Pola hidup mewah, konsumtif, hedonisme merasuki para pejabat negara yang kemudian cenderung diikuti oleh rakyatnya.

Korupsi tidak akan pernah mati karena sifat dasar manusia itu sendiri dihiasi oleh keinginan atau kecenderungan terhadap syahwat atau hawa nafsu yang dibisikkan oleh setan. Dalam Al Quran surat Ali Imron 14 disebutkan “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). Di ujung ayat ini Allah mengingatkan bahwa kesenangan dunia ini tidak ada artinya karena kebahagian di dunia ini hanya sekejap dan sebaik-baik kesenangan adalah di akhirat kelak yaitu di surga.
           
Memberikan hukuman penjara selama empat sampai lima tahun plus dipotong berbagai macam grasi bagi koruptor adalah perbuatan yang sangat jauh dari rasa keadilan. Sebab bila dianalisis fenomenologis terhadap korupsi dibuat maka akan didapati bahwa unsur-unsur penting yang ada pada korupsi pada dasarnya adalah penipuan dan pencurian (Edhie Dea ; 2011). Oleh sebab itu prilaku korupsi dapat dianggap sebagai perbuatan merusak di muka bumi karena akibatnya dapat menghancurkan tatanan kemaslahatan kehidupan orang banyak.  Oleh sebab itu Allah SWT memberikan solusi bagi kejahatan korupsi sebagaimana tercantum dalam surat Al Maidah (5) ayat 33, “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan yang membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah : mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksa yang besar.”
           

Menyaksikan hukuman bagi para koruptor di tanah air, kita mungkin hanya dapat mengelus dada. Ditambah dengan kegaduhan nasional yang cenderung sebagai upaya untuk melemahkan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita tidak mampu berbuat apa-apa. Namun kita tidak perlu berkecil hati sebab menurut ustad yang biasa ceramah mingguan di mesjid mengatakan, ”Mungkin mereka di dunia tidak apa-apa namun di pengadilan akhirat nanti perbuatan mereka pasti akan dipertanggungjawabkan.”

Tidak ada komentar: