photo dari google
Era
reformasi sebagai era kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat
disambut gegap gempita seluruh rakyat di pelosok negeri. Panggung politik yang
terbelenggu semasa pemerintahan orde baru kembali bergairah. Partai politik
tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan. Politikus gadungan, politikus
karbitan, politikus asli, tua, muda, lahir di negara ini. Namun warna warni panggung
politik Indonesia pasca runtuhnya orde baru tahun 1998 belum berfungsi sebagai
kepanjangan tangan rakyat.
Walau
pun semua parpol serempak menjanjikan rakyat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Kenyataannya kondisi sosial ekonomi masyarakat
Indonesia jauh panggang dari api atas kesejahteraan yang sering menjadi jargon
partai politik. Belakangan beredar mantra “piye
kabare le… Penak jamanku tho…” Sebuah ungkapan sederhana yang menyiratkan
kekecewaan jaman sekarang.
Perjalanan
politik negeri ini tidak lepas dari pandangan sesosok pahlawan akar rumput yang
bernama Iwan Fals. Sebagai musisi, penyanyi, dan pencipta lagu yang kerap
berurusan dengan pihak yang berwajib pada jaman orde baru, lelaki bernama asli
Virgiawan Listanto mengungkapkan bahasa politik melalui lagu-lagunya. Coba
simak lirik lagu Asik Nggak Asik yang berisi pandangan politik dari
pahlawan asia versi majalah Time Asia ini.
Dunia politik penuh dengan intrik
Cubit sana cubit sini itu sudah lumrah
Seperti orang pacaran
Kalau nggak nyubit nggak asik
…
Dunia politik dunia binatang
dunia hura-hura para binatang
Berjoget dengan asik …
Iwan
Fals dengan lantang menggambarkan bahwa dunia politik itu seperti binatang,
penuh intrik, pesta pora, bebas melabrak aturan, tidak beretika alias tidak
tahu malu. Yang berlaku dalam dunia politik seperti hukum rimba, siapa yang
kuat dialah yang berkuasa. Pandangan lelaki kelahiran Jakarta, 3 September 1961
sejalan dengan pemikiran Thomas Hobbes yang mengemukakan bahwa manusia adalah homo homini lupus, manusia adalah
serigala bagi manusia lainya.
Dalam
percaturan politik Indonesia perebutan kekuasaan di dalam partai politik dapat
dilihat secara telanjang. Tidak sedikit perebutan kekuasaan dalam sebuah parpol
melahirkan konflik internal yang
berujung adanya dualisme parpol (tandingan). Dan apabila konflik ini terus
memuncak maka akan melahirkan parpol baru sebagai tandingan dari parpol
asalnya. Sejarah mencatat konflik PKB versi Abdurahman Wahid (Gus Dur) dengan
PKB versi Muhaimin Iskandar. Lahirnya Partai Nasdem sebagai akibat dari
kekalahan Surya Paloh dari ARB (Abu Rizal Bakrie) pada Munas VIII Golkar. Yang
paling baru pecahnya PPP kubu Suryadharma Ali dengan PPP kubu Romahurmuzi.
Serta Partai Golkar hasil Munas IX di Bali yang menghasilkan Kubu ARB dan Munas
IX di Ancol Jakarta yang menghasilkan kubu Agung Laksono.
Konflik
yang terjadi di antara politikus vesus politikus dalam internal parpol atau
parpol versus parpol seperti yang terjadi di DPR antara Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) dengan Koalisi Merah Putih (KMP) menegaskan pertanyaan retoris Iwan Fals
kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu.
Apakah selamanya politik itu kejam?
Apakah selamanya dia datang tuk menghantam?
Ataukah memang itu yang sudah digariskan?
Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak
sewajarnya
Politik Indonesia tidak mewadahi orang-orang yang mempunyai karakter seperti Hatta, Agus Salim atau Sartono. Politikus yang membela rakyat dan bertentangan dengan kebijakan parpol akan dikenakan pergantian antar waktu. Seorang anggota dewan yang tidak mengikuti studi banding akan dikucilkan. Politik tersandera kepentingan sendiri dan golongan. Politik yang sudah sakit tetap sakit, tidak kunjung sembuh.
Setelah
reformasi bergulir, panggung politik dihiasi oleh berbagai kasus yang menjerat
politisi, baik sendiri maupun berjamah bergantian masuk penjara tersangkut
kasus korupsi. Uang rakyat bukan lagi menjadi uang rakyat dalam arti yang
sesungguhnya. Uang rakyat berpindah ke kantong-kantong politisi dan tidak
menutup kemungkinan mengalir ke dalam kas parpol. Uang berada di atas
kepentingan rakyat. Kondisi ini tidak lepas dari perhatian sang legenda. Dalam
album 50 : 50 Iwan Fals pun bertutur nyaring,
Kesaksian tergusur oleh kepentingan… ngawur
Pemerintah keasyikan berpolitik… ngawur
Partai politik sibuk menuhankan uang.. ngawur
Ada rakyat yang lapar makan daun dan arang
Harapan
Iwan Fals terhadap panggung politik Indonesia adalah lahirnya seorang politikus
sekelas Mohamad Hatta. Di dalam lagu yang berjudul Hatta, Iwan melukiskan Hatta sebagai pribadi yang jujur, lugu, dan
bijaksana. Hatta adalah politikus idaman, hidup sederhana, tidak maruk akan
kekuasaan. Bagi seorang Hatta rakyat Indonesia adalah segalanya. Perbedaan
politik dengan Soekarno disikapinya dengan mengundurkan diri sebagai wakil
presiden. Tetapi sebagai teman seperjuangan Hatta tetap menengok Soekarno
sebelum beliau meninggal dunia. Suatu sikap yang sangat mulia dari seorang
Hatta dan jarang ditemui pada jaman sekarang ini.
Lagu-lagu
Iwan Fals yang kritis, lantang menyuarakan ketidakadilan layak dimasukkan ke
dalam khazanah dunia politik Indonesia. Saya masih ingat, sebelum Soeharto
lengser dari orang nomor satu di Indonesia, para demonstran yang dimotori oleh
mahasiswa, sering melantunkan dua buah lagu dari album swami, yaitu Bento dan
Bongkar. Sekarang pun lagu-lagu sang pahlawan selalu kritis meskipun tidak
segarang dahulu. Iwan Fals memang bukan seorang politikus tetapi suaranya telah
mewakili harapan dan impian rakyat Indonesia. Iwan Fals ibarat pengamat politik
yang langsung menohok langsung ke jantung para politikus. Semoga suara-suara
sumbang beliau membukakan mata para calon atau pun politikus yang manggung di
tanah air.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar