Selasa, 03 Maret 2015

Celoteh Iwan Fals Dalam Panggung Politik Indonesia



photo dari google
Era reformasi sebagai era kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat disambut gegap gempita seluruh rakyat di pelosok negeri. Panggung politik yang terbelenggu semasa pemerintahan orde baru kembali bergairah. Partai politik tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan. Politikus gadungan, politikus karbitan, politikus asli, tua, muda, lahir di negara ini. Namun warna warni panggung politik Indonesia pasca runtuhnya orde baru tahun 1998 belum berfungsi sebagai kepanjangan tangan rakyat.

Walau pun semua parpol serempak menjanjikan rakyat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kenyataannya kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia jauh panggang dari api atas kesejahteraan yang sering menjadi jargon partai politik. Belakangan beredar mantra “piye kabare le… Penak jamanku tho…”  Sebuah ungkapan sederhana yang menyiratkan kekecewaan jaman sekarang.

Perjalanan politik negeri ini tidak lepas dari pandangan sesosok pahlawan akar rumput yang bernama Iwan Fals. Sebagai musisi, penyanyi, dan pencipta lagu yang kerap berurusan dengan pihak yang berwajib pada jaman orde baru, lelaki bernama asli Virgiawan Listanto mengungkapkan bahasa politik melalui lagu-lagunya. Coba simak lirik lagu Asik Nggak Asik   yang berisi pandangan politik dari pahlawan asia versi majalah Time Asia ini.

Dunia politik penuh dengan intrik
Cubit sana cubit sini itu sudah lumrah
Seperti orang pacaran
Kalau nggak nyubit nggak asik
Dunia politik dunia binatang
dunia hura-hura para binatang
Berjoget dengan asik …

Iwan Fals dengan lantang menggambarkan bahwa dunia politik itu seperti binatang, penuh intrik, pesta pora, bebas melabrak aturan, tidak beretika alias tidak tahu malu. Yang berlaku dalam dunia politik seperti hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Pandangan lelaki kelahiran Jakarta, 3 September 1961 sejalan dengan pemikiran Thomas Hobbes yang mengemukakan bahwa manusia adalah homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainya.
           
Dalam percaturan politik Indonesia perebutan kekuasaan di dalam partai politik dapat dilihat secara telanjang. Tidak sedikit perebutan kekuasaan dalam sebuah parpol melahirkan  konflik internal yang berujung adanya dualisme parpol (tandingan). Dan apabila konflik ini terus memuncak maka akan melahirkan parpol baru sebagai tandingan dari parpol asalnya. Sejarah mencatat konflik PKB versi Abdurahman Wahid (Gus Dur) dengan PKB versi Muhaimin Iskandar. Lahirnya Partai Nasdem sebagai akibat dari kekalahan Surya Paloh dari ARB (Abu Rizal Bakrie) pada Munas VIII Golkar. Yang paling baru pecahnya PPP kubu Suryadharma Ali dengan PPP kubu Romahurmuzi. Serta Partai Golkar hasil Munas IX di Bali yang menghasilkan Kubu ARB dan Munas IX di Ancol Jakarta yang menghasilkan kubu Agung Laksono.

Konflik yang terjadi di antara politikus vesus politikus dalam internal parpol atau parpol versus parpol seperti yang terjadi di DPR antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan Koalisi Merah Putih (KMP) menegaskan pertanyaan retoris Iwan Fals kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu.

Apakah selamanya politik  itu kejam?
Apakah selamanya dia datang tuk menghantam?
Ataukah memang itu yang sudah digariskan?
Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya

Politik Indonesia tidak mewadahi orang-orang yang mempunyai karakter seperti Hatta, Agus Salim atau Sartono. Politikus yang membela rakyat dan bertentangan dengan kebijakan parpol akan dikenakan pergantian antar waktu. Seorang anggota dewan yang tidak mengikuti studi banding akan dikucilkan. Politik tersandera kepentingan sendiri dan golongan. Politik yang sudah sakit tetap sakit, tidak kunjung sembuh.

Setelah reformasi bergulir, panggung politik dihiasi oleh berbagai kasus yang menjerat politisi, baik sendiri maupun berjamah bergantian masuk penjara tersangkut kasus korupsi. Uang rakyat bukan lagi menjadi uang rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Uang rakyat berpindah ke kantong-kantong politisi dan tidak menutup kemungkinan mengalir ke dalam kas parpol. Uang berada di atas kepentingan rakyat. Kondisi ini tidak lepas dari perhatian sang legenda. Dalam album 50 : 50 Iwan Fals pun bertutur nyaring,

Kesaksian tergusur oleh kepentingan… ngawur
Pemerintah keasyikan berpolitik… ngawur
Partai politik sibuk menuhankan uang.. ngawur
Ada rakyat yang lapar makan daun dan arang
           
Harapan Iwan Fals terhadap panggung politik Indonesia adalah lahirnya seorang politikus sekelas Mohamad Hatta. Di dalam lagu yang berjudul Hatta, Iwan melukiskan Hatta sebagai pribadi yang jujur, lugu, dan bijaksana. Hatta adalah politikus idaman, hidup sederhana, tidak maruk akan kekuasaan. Bagi seorang Hatta rakyat Indonesia adalah segalanya. Perbedaan politik dengan Soekarno disikapinya dengan mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Tetapi sebagai teman seperjuangan Hatta tetap menengok Soekarno sebelum beliau meninggal dunia. Suatu sikap yang sangat mulia dari seorang Hatta dan jarang ditemui pada jaman sekarang ini.    


Lagu-lagu Iwan Fals yang kritis, lantang menyuarakan ketidakadilan layak dimasukkan ke dalam khazanah dunia politik Indonesia. Saya masih ingat, sebelum Soeharto lengser dari orang nomor satu di Indonesia, para demonstran yang dimotori oleh mahasiswa, sering melantunkan dua buah lagu dari album swami, yaitu Bento dan Bongkar. Sekarang pun lagu-lagu sang pahlawan selalu kritis meskipun tidak segarang dahulu. Iwan Fals memang bukan seorang politikus tetapi suaranya telah mewakili harapan dan impian rakyat Indonesia. Iwan Fals ibarat pengamat politik yang langsung menohok langsung ke jantung para politikus. Semoga suara-suara sumbang beliau membukakan mata para calon atau pun politikus yang manggung di tanah air.

Tidak ada komentar: