Sabtu, 28 Maret 2015

Bermain Dengan Kematian




Judul Buku : Berikutnya Kau yang Mati
Pengarang : Arie F Rofian
Penerbit : Moka Media
Tahun  : 2015
Tebal : 178 Halaman

Pertengahan tahun 1990 an, ketika mengarungi dunia perkuliahan sebuah acara yang dianggap menyeramkan, menakutkan, mengerikan, mengandung sembilan puluh persen horor tetapi sangat ditunggu-tunggu oleh saya dan rekan-rekan.  Acara ini disiarkan oleh sebuah stasiun radio terkemuka di Bandung yaitu Ardan FM dengan mengusung tema Nightmare Side, diperdengarkan setiap Kamis malam puku 22.00-23.00 WIB.

Mengapa saya tidak mengungkapkan seratus persen horor? Alasannya sederhana, karena yang sepuluh persen adalah humor. Pasti anda akan bertanya lagi kenapa sepuluh persen saya anggap humor? Sekali lagi alasannya sangat sederhana karena ada rekan saya yang penakut tetapi tetap kepingin ikut mendengarkan sampai beliau ini menahan kencing karena tidak berani ke kamar mandi sendirian. Jika saya atau rekan lain di kala jeda  iklan buang air ke kamar mandi, teman saya yang satu ini segera dengan semangat empat lima mengekor di belakang dan beberapa langkah lagi menuju kamar mandi menyalip tanpa merasa berdosa.

Bicara tentang cerita horor, saya baru saja tuntas melahap sebuah buku karya teman saya, Ari F Rofian yang berjudul Berikutnya Kau yang Mati. Tentu saja sensasi mendengarkan cerita horor di radio dengan di buku akan jauh berbeda. Sebab intonasi dan musik yang mengiringi cerita horor di radio sangat mempengaruhi imajinasi yang terbentuk di dalam pikiran. Sedangkan di dalam buku dipengaruhi oleh bahasa dan kalimat yang digunakan sehingga apabila bahasa dan kalimatnya kurang sreg maka rasa yang ingin dimunculkan pengarang tidak akan dapat dirasakan oleh pembaca.

Buku ini menceritakan bagaimana rangkaian kematian yang dialami tokoh-tokohnya. Dari awal cerita hingga sebelum bab terakhir pembaca akan merasakan bagaimana ngerinya tokoh-tokoh cerita mengalami kematian dengan cara yang berbeda-beda. Saran saya, jangan lewatkan bab demi bab dalam buku ini sebab pembaca akan sangat menikmati akhir dari buku ini apabila lembar demi lembar dilahap sampai tandas. Jika pembaca tidak melakukan ini maka bab terakhir akan terasa kering dan gersang bahkan dapat menjadikan pembaca menjadi linglung.

Mulanya saya menganggap buku ini adalah semacam kumpulan cerpen horor karena dalam setiap tokohnya penulis selalu melebur dalam sudut pandang pertama. Namun anggapan itu langsung hilang setelah menyelesaikan halaman terakhir.  Sebagai buku horor, buku ini sangat asyik dibaca bagi anda para pecinta buku horor maupun bukan pecinta buku horor. Selain bahasa ringan, mudah dicerna, dapat dijadikan sebagai bahan uji nyali.

Selasa, 03 Maret 2015

Celoteh Iwan Fals Dalam Panggung Politik Indonesia



photo dari google
Era reformasi sebagai era kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat disambut gegap gempita seluruh rakyat di pelosok negeri. Panggung politik yang terbelenggu semasa pemerintahan orde baru kembali bergairah. Partai politik tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan. Politikus gadungan, politikus karbitan, politikus asli, tua, muda, lahir di negara ini. Namun warna warni panggung politik Indonesia pasca runtuhnya orde baru tahun 1998 belum berfungsi sebagai kepanjangan tangan rakyat.

Walau pun semua parpol serempak menjanjikan rakyat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kenyataannya kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia jauh panggang dari api atas kesejahteraan yang sering menjadi jargon partai politik. Belakangan beredar mantra “piye kabare le… Penak jamanku tho…”  Sebuah ungkapan sederhana yang menyiratkan kekecewaan jaman sekarang.

Perjalanan politik negeri ini tidak lepas dari pandangan sesosok pahlawan akar rumput yang bernama Iwan Fals. Sebagai musisi, penyanyi, dan pencipta lagu yang kerap berurusan dengan pihak yang berwajib pada jaman orde baru, lelaki bernama asli Virgiawan Listanto mengungkapkan bahasa politik melalui lagu-lagunya. Coba simak lirik lagu Asik Nggak Asik   yang berisi pandangan politik dari pahlawan asia versi majalah Time Asia ini.

Dunia politik penuh dengan intrik
Cubit sana cubit sini itu sudah lumrah
Seperti orang pacaran
Kalau nggak nyubit nggak asik
Dunia politik dunia binatang
dunia hura-hura para binatang
Berjoget dengan asik …

Iwan Fals dengan lantang menggambarkan bahwa dunia politik itu seperti binatang, penuh intrik, pesta pora, bebas melabrak aturan, tidak beretika alias tidak tahu malu. Yang berlaku dalam dunia politik seperti hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Pandangan lelaki kelahiran Jakarta, 3 September 1961 sejalan dengan pemikiran Thomas Hobbes yang mengemukakan bahwa manusia adalah homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainya.
           
Dalam percaturan politik Indonesia perebutan kekuasaan di dalam partai politik dapat dilihat secara telanjang. Tidak sedikit perebutan kekuasaan dalam sebuah parpol melahirkan  konflik internal yang berujung adanya dualisme parpol (tandingan). Dan apabila konflik ini terus memuncak maka akan melahirkan parpol baru sebagai tandingan dari parpol asalnya. Sejarah mencatat konflik PKB versi Abdurahman Wahid (Gus Dur) dengan PKB versi Muhaimin Iskandar. Lahirnya Partai Nasdem sebagai akibat dari kekalahan Surya Paloh dari ARB (Abu Rizal Bakrie) pada Munas VIII Golkar. Yang paling baru pecahnya PPP kubu Suryadharma Ali dengan PPP kubu Romahurmuzi. Serta Partai Golkar hasil Munas IX di Bali yang menghasilkan Kubu ARB dan Munas IX di Ancol Jakarta yang menghasilkan kubu Agung Laksono.

Konflik yang terjadi di antara politikus vesus politikus dalam internal parpol atau parpol versus parpol seperti yang terjadi di DPR antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan Koalisi Merah Putih (KMP) menegaskan pertanyaan retoris Iwan Fals kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu.

Apakah selamanya politik  itu kejam?
Apakah selamanya dia datang tuk menghantam?
Ataukah memang itu yang sudah digariskan?
Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya

Politik Indonesia tidak mewadahi orang-orang yang mempunyai karakter seperti Hatta, Agus Salim atau Sartono. Politikus yang membela rakyat dan bertentangan dengan kebijakan parpol akan dikenakan pergantian antar waktu. Seorang anggota dewan yang tidak mengikuti studi banding akan dikucilkan. Politik tersandera kepentingan sendiri dan golongan. Politik yang sudah sakit tetap sakit, tidak kunjung sembuh.

Setelah reformasi bergulir, panggung politik dihiasi oleh berbagai kasus yang menjerat politisi, baik sendiri maupun berjamah bergantian masuk penjara tersangkut kasus korupsi. Uang rakyat bukan lagi menjadi uang rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Uang rakyat berpindah ke kantong-kantong politisi dan tidak menutup kemungkinan mengalir ke dalam kas parpol. Uang berada di atas kepentingan rakyat. Kondisi ini tidak lepas dari perhatian sang legenda. Dalam album 50 : 50 Iwan Fals pun bertutur nyaring,

Kesaksian tergusur oleh kepentingan… ngawur
Pemerintah keasyikan berpolitik… ngawur
Partai politik sibuk menuhankan uang.. ngawur
Ada rakyat yang lapar makan daun dan arang
           
Harapan Iwan Fals terhadap panggung politik Indonesia adalah lahirnya seorang politikus sekelas Mohamad Hatta. Di dalam lagu yang berjudul Hatta, Iwan melukiskan Hatta sebagai pribadi yang jujur, lugu, dan bijaksana. Hatta adalah politikus idaman, hidup sederhana, tidak maruk akan kekuasaan. Bagi seorang Hatta rakyat Indonesia adalah segalanya. Perbedaan politik dengan Soekarno disikapinya dengan mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Tetapi sebagai teman seperjuangan Hatta tetap menengok Soekarno sebelum beliau meninggal dunia. Suatu sikap yang sangat mulia dari seorang Hatta dan jarang ditemui pada jaman sekarang ini.    


Lagu-lagu Iwan Fals yang kritis, lantang menyuarakan ketidakadilan layak dimasukkan ke dalam khazanah dunia politik Indonesia. Saya masih ingat, sebelum Soeharto lengser dari orang nomor satu di Indonesia, para demonstran yang dimotori oleh mahasiswa, sering melantunkan dua buah lagu dari album swami, yaitu Bento dan Bongkar. Sekarang pun lagu-lagu sang pahlawan selalu kritis meskipun tidak segarang dahulu. Iwan Fals memang bukan seorang politikus tetapi suaranya telah mewakili harapan dan impian rakyat Indonesia. Iwan Fals ibarat pengamat politik yang langsung menohok langsung ke jantung para politikus. Semoga suara-suara sumbang beliau membukakan mata para calon atau pun politikus yang manggung di tanah air.

Minggu, 01 Maret 2015

Korupsi Sepanjang Hayat



Bung Hatta mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Pernyataan beliau ini diungkapkan pada saat beliau diangkat sebagai penasihat Presiden Soeharto dan Komisi Empat yang dimaksudkan untuk memberantas korupsi pada tahun 1970. Beliau merasa tidak berdaya menghadapi korupsi karena terbatas kepada memberi nasehat saja. Walau begitu banyak bahan yang diperoleh sebagai bukti korupsi yang dilakukan aparatur negara tetapi segala sesuatunya ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri.
           
Usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun membentur batu cadas menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan aparat kepolisian. Hingga muncul istilah cicak vs buaya yang berlanjut dengan cicak vs buaya dan banteng. Begitu sulitkah menghancurkan korupsi yang telah merusak berbagai sendi kehidupan di tanah air tercinta ini?
           
Furnivall (1957) menulis bahwa Nederland atau Hindia Belanda praktis bebas dari korupsi. Pandangan ini diperkuat oleh orang Indonesia yang menyalahkan pemerintah pendudukan Jepang sebagai pihak yang memperkenalkan korupsi. Namun pendapat ini dibantah oleh Clive Day (1966) yang menggambarkan orang-orang yang bekerja pada kompeni Belanda menerima gaji yang terlalu rendah dan mudah terkena godaan yang diberikan oleh gabungan dari organisasi peribumi yang lemah dan peluang yang luar biasa dalam perdagangan dan pengawasan yang hampir tidak ada sama sekali dari negara asal.
           
Pendapat senada diungkapkan oleh H. Rosihan Anwar dalam Napak Tilas ke Belanda : 60 tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 dalam prakteknya VOC memegang hak monopoli perdagangan dan opperkoopman, atau pedagang yang membawahi beberapa organisasi dagang di bawahnya. Dalam melaksanakan tugasnya secara tidak langsung opperkoopman banyak  melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri. Selain berdagang bagi VOC dia sendiri memuat dalam kapal kompeni barang-barang pribadi untuk diperjual belikan yang hasilnya tidak disetorkan kepada kompeni. Dengan demikian orang pribumi tentunya melihat tindak-tanduk korupsi pegawai Belanda tersebut dan cara-cara seperti itu ditiru oleh warga pribumi.
           
Korupsi searah dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Kemerdekaan sebagai pintu gerbang menuju rakyat yang adil, makmur, dan sejahtera ternyata hanya dinikmati segelintir orang terutama yang mempunyai akses terhadap kekuasaan. Berbagai perlawanan terhadap korupsi yang dibentuk oleh pemerintah atau pun masyarakat seakan tidak berdaya guna memberantas korupsi karena korupsi sangat erat hubungannya dengan kekuasaan (politik). 

Pada 13 Agustus 1956, surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani berdasarkan investigasi terlibat dalam korupsi dengan menerima nikmat keuangan dari Lie Hok Thay, wakil direktur Percetakan Negara. Dua jam sebelum berangkat menghadiri konferensi di London, Roeslan ditangkap atas perintah panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Alex Kawilarang. Namun adanya intervensi dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada waktu itu membatalkan perintah untuk menangkap Roeslan. Pada Desember 1956, Mochtar Lubis dihadapkan ke pengadilan atas tuduhan memfitnah dalam komentar tentang kasus Roeslan dan dalam klaim-klaim tajuk rencananya bahwa kabinet telah bersekongkol untuk menutup-nutupi fakta.
           
Begitu pun dengan nasib Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang diketuai Jenderal A.H. Nasution. Beredar kabar menurut catatan H. Rosihan Anwar bahwa Presiden Soekarno tidak senang dengan tindak tanduk PARAN, terutama bertalian dengan “Operasi Budhi” yang menyelidiki apakah ada korupsi atau tidak dalam pimpinan Perusahaan Dagang Negara. Masyarakat politik di Jakarta lantas berspekulasi apakah Presiden mau menghantam Nasution? Apakah Chaerul Saleh yang memang tidak senang dengan danya Operasi Budhi? Apakah pengusaha-pengusaha “klik Istana” merasa diri terancam? Ataukah kaum vested interest dalam golongan militer yang duduk dalam pimpinan-pimpinan Perusahaan Dagang Negara?
           
Begitu menjelimetnya korupsi yang menggurita dalam kekuasaan (politik). Korupsi dan kekuasaan bagaikan lem dan perangko yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya berjalan seiring dan saling membutuhkan. Sehingga ketika yang satu terusik maka segera yang lainnya melindungi. Keluarga Soeharto serta kroninya sampai saat ini tidak pernah tersentuh hukum yang berkaitan dengan korupsi. Meski pun secara kasat mata terlihat bagaimana selama tiga puluh dua tahun mengeruk kekayaan alam nusantara.
           
Yang lebih menyakitkan ketika banyak anggota dewan hasil pemilu pasca reformasi terjerat korupsi secara berjamaah. Padahal masih segar dalam ingatan bagaimana mereka berteriak-teriak anti KKN dan menuntut mundur Presiden Soeharto yang berkuasa selama kurang lebih tiga puluh dua tahun. Mereka tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh Soeharto. Bapak dan anak terlibat kasus korupsi. Pada pemilu 2014 lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis 48 nama anggota DPR RI maupun DPRD terpilih yang terjerat kasus dugaan korupsi dari berbagai wilayah yang terdata. Menurut peneliti ICW Ade Irawan, pada tingkatan proses hukum saat ini 32 orang politikus masih dalam proses penyidikan. Sedangkan 15 orang lainnya masih dalam proses persidangan dan telah divonis bersalah di pengadilan (Kompas.com).

Korupsi di Indonesia akan terus terjadi karena selama ini para pemegang kekuasaan tidak mampu manahan serangan kapitalisme. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai benteng pertahanan dari kaum kapitalis tidak mampu diaplikasikan oleh penyelenggara negara. Justru yang terjadi adalah menjadi penyelenggara negara adalah kesempatan untuk memenuhi ambisi pribadi dan golongannya. Tidak ada teladan dari penyelenggara negara kepada rakyat yang dipimpinnya. Pola hidup mewah, konsumtif, hedonisme merasuki para pejabat negara yang kemudian cenderung diikuti oleh rakyatnya.

Korupsi tidak akan pernah mati karena sifat dasar manusia itu sendiri dihiasi oleh keinginan atau kecenderungan terhadap syahwat atau hawa nafsu yang dibisikkan oleh setan. Dalam Al Quran surat Ali Imron 14 disebutkan “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). Di ujung ayat ini Allah mengingatkan bahwa kesenangan dunia ini tidak ada artinya karena kebahagian di dunia ini hanya sekejap dan sebaik-baik kesenangan adalah di akhirat kelak yaitu di surga.
           
Memberikan hukuman penjara selama empat sampai lima tahun plus dipotong berbagai macam grasi bagi koruptor adalah perbuatan yang sangat jauh dari rasa keadilan. Sebab bila dianalisis fenomenologis terhadap korupsi dibuat maka akan didapati bahwa unsur-unsur penting yang ada pada korupsi pada dasarnya adalah penipuan dan pencurian (Edhie Dea ; 2011). Oleh sebab itu prilaku korupsi dapat dianggap sebagai perbuatan merusak di muka bumi karena akibatnya dapat menghancurkan tatanan kemaslahatan kehidupan orang banyak.  Oleh sebab itu Allah SWT memberikan solusi bagi kejahatan korupsi sebagaimana tercantum dalam surat Al Maidah (5) ayat 33, “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan yang membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah : mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksa yang besar.”
           

Menyaksikan hukuman bagi para koruptor di tanah air, kita mungkin hanya dapat mengelus dada. Ditambah dengan kegaduhan nasional yang cenderung sebagai upaya untuk melemahkan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita tidak mampu berbuat apa-apa. Namun kita tidak perlu berkecil hati sebab menurut ustad yang biasa ceramah mingguan di mesjid mengatakan, ”Mungkin mereka di dunia tidak apa-apa namun di pengadilan akhirat nanti perbuatan mereka pasti akan dipertanggungjawabkan.”