Photo dari Google
Akhirnya
ujung kaki menapak di pelataran kamar kontrakan. Lelah tubuh aku sandarkan pada
sepotong papan berbentuk kursi tidak beraturan. Ujung jari kaki yang menjulur
dari sobekan jendela sepatu, aku keluarkan pelan-pelan. Bau khas dari kaki
telanjang tidak berkaus kaki menusuk hidung mengalahkan segarnya angin yang
mengipas-ngipas seluruh tubuh. Suasana kontrakan sepi, maklum hari Minggu,
sebagian penghuninya masih bercengkrama dalam dunia bantal sedangkan sebagian
lagi entah kemana, mungkin sedang berjalan-jalan ria menikmati pagi dan belum
kembali.
Dari
kamar mandi yang terletak di seberang terdengar gemericik air yang ditumpahkan
dari gayung. Pintu kedua kamar mandi itu tertutup rapat. Di sampingnya, di
tempat pencucian ditelan sepi tidak terdengar senda gurau orang mencuci pakaian atau gelas piring kotor. Aku
rehat sejenak, menarik napas panjang. Apa yang akan aku lakukan hari ini?
Gelap..... Uang di kantong kosong. Tidak berbekas. Ke ATM? Males jauh....
Isinya juga paling tinggal berapa. Maklumlah pegawai rendahan. Akhir bulan memble. Mikiran biaya hidup yang terus melambung tidak akan
selesai-selesai. Jika banyak diberitakan tentang rekening gendut di
koran-koran, aku mah sebaliknya
rekening kurus kurang gizi gak gendut-gendut tapi masih lumayan tidak terkena
rekening busung lapar. Artinya aku harus tetap berkata alhamdulillah. Betul gak?
Tiba-tiba
terlintas kembali dalam kepalaku tentang Kang Aceng yang kini sudah menjadi
Guru Oemar Bakri di tanah kelahirannya. Mengapa aku tidak pergi ke sana saja?
Ya aku mesti ke sana. Mencari lelaki jujur. Jujur? Aku bilang jujur tentu ada
alasannya. Dari dulu Kang Aceng itu kurus, lurus, badannya tidak gede-gede.
Tapi jangan salah kurus bukan berarti tidak korupsi. Buktinya Andi Malarangeng
yang tinggi kurus terjerat korupsi, Bung Rudi mantan kepala SKK Migas yang
tubuhnya kecil juga terjerat korupsi. Kang Aceng? Semoga tidak termasuk
kedalamnya. Amin.
Tapi
untuk menuju rumah Kang Aceng di Garut butuh modale tidak sedikite. Aku harus menyiapkan uang untuk ongkos dan
makan. Ongkos? Pasti sudah mahal. Kenaikan harga BBM sudah merubah tatanan
hidup mahal menjadi semakin mahal. Walaupun katanya turun lagi, ongkos mah tetep saja tidak ikut turun. Padahal
masih segar dalam ingatan. Ketika harga BBM naik supir angkutan pada gelisah.
Kegelisasan mereka wujudkan dalam aksi mogok, menurunkan penumpang sembarangan
sampai menaikkan ongkos seenak udelnya.
Sekarang setelah harga BBM turun supir pada nyengir, kan yang naik bukan BBM
saja Jang. Jadi ongkos mah tetep we sakitu. Bagi yang mempunyai
kandaraan, kandaraan badak banna ampat
atawa banna ngan aya sapasang tak apa-apa. Bagi mereka mah untung, ada sedikit penghematan ongkos transportasi, lah bagi aku dan sebangsaku yang biasa naik angkutan
umum tidak ada pangaruhna sabab ongkos
tetep sakitu. Cing atuh pamaréntah téh
ari nyieun kabijakan sing karunya ka jelema leutik pantar kuring. Nu kaya
tambah bahagia nu teu boga tambah sangsaria. Bener teu lur?
Kreekkk....
Pintu salah satu kamar mandi terbuka. Nyi Saodah, salah satu penghuni kamar kontrakan
keluar dari kamar mandi. Dengan rambut dibalut handuk kecil keluar dengan senyum riang. Handuk
besar dengan warna merah muda menutup badannya yang putih dari ujung leher
sampai lutut. Wajah Nyi Saodah tersenyum kepadaku. Aku dapat merasakan
kegembiraan hatinya. Semalam suaminya yang seminggu sekali menjenguknya datang
dengan beragam oleh-oleh. Sepotong kue mampir ke kamarku, piringnya belum
sempat aku kembalikan. Tadi pagi sebelum aku berangkat ke car free day aku berpapasan dengan Mas Parno yang akan kembali ke
rumah istri pertamanya.
Kenapa
bengong A?” tanya Nyi Saodah sambil
berjalan di depanku.
Aku
tertunduk malu. Tidak berani menatap tubuhnya. Takut.....? Ah jangan berpikir
yang macam-macam. Maksudnya aku takut salah ngomong. Wangi sabun yang digunakan
sangat menarik hidung. Segar rasanya. Darah muda rada-rada bergejolak.
“Ah
biasa Nyi, ngalamun nu teu puguh.”
“Awas
ngelamun! Nanti kabawa kusakaba-kaba!” sahut
Nyi Saodah sambil berlalu di hadapanku.
Wangi
tubuhnya kembali tercium semakin tajam.
Lamunanku
yang sempat terhenti oleh Nyi Saodah berlanjut. Nyi Saodah bagaikan iklan
televisi yang numpang lewat sejenak. Aku mulai merencanakan perjalanan ke Garut
dengan menggunakan tabungan minimalis tetapi mendapatkan hasil yang maksimalis.
Aku segera ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kakiku yang rada-rada bau meleuding.
Di
kamar kontrakan yang sebesar sandal jepit aku mulai menyusun rencana. Sudah
kubulatkan tekad akan pergi ke Garut dengan cara backpacking sebuah tren bepergian dengan cara berbekal seadanya dan
menggunakan tas punggung alias ransel. Dengan kata lain aku akan berubah
menjadi seorang backpacker. Seperti
komik jaman dulu seorang Clark Kent (Kang
Amar Kantjing : Sunda) asal USA (Urang Singaparna Asli) berubah menjadi Suparman. Aku tersenyum. Bingkai photo
aku dan teman-temanku juga ikut tersenyum. Mudah-mudahan tidak ada jurignya. Tunggu aku di Garut!!!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar