Sabtu, 03 Januari 2015

Petualangan Aa Ruslie : Mencari Lelaki Jujur (Bagian Satu)

Photo dari Google



Akhirnya ujung kaki menapak di pelataran kamar kontrakan. Lelah tubuh aku sandarkan pada sepotong papan berbentuk kursi tidak beraturan. Ujung jari kaki yang menjulur dari sobekan jendela sepatu, aku keluarkan pelan-pelan. Bau khas dari kaki telanjang tidak berkaus kaki menusuk hidung mengalahkan segarnya angin yang mengipas-ngipas seluruh tubuh. Suasana kontrakan sepi, maklum hari Minggu, sebagian penghuninya masih bercengkrama dalam dunia bantal sedangkan sebagian lagi entah kemana, mungkin sedang berjalan-jalan ria menikmati pagi dan belum kembali.

Dari kamar mandi yang terletak di seberang terdengar gemericik air yang ditumpahkan dari gayung. Pintu kedua kamar mandi itu tertutup rapat. Di sampingnya, di tempat pencucian ditelan sepi tidak terdengar senda gurau orang mencuci pakaian atau gelas piring kotor. Aku rehat sejenak, menarik napas panjang. Apa yang akan aku lakukan hari ini? Gelap..... Uang di kantong kosong. Tidak berbekas. Ke ATM? Males jauh.... Isinya juga paling tinggal berapa. Maklumlah pegawai rendahan. Akhir bulan memble. Mikiran biaya hidup yang terus melambung tidak akan selesai-selesai. Jika banyak diberitakan tentang rekening gendut di koran-koran, aku mah sebaliknya rekening kurus kurang gizi gak gendut-gendut tapi masih lumayan tidak terkena rekening busung lapar. Artinya aku harus tetap berkata alhamdulillah. Betul gak?

Tiba-tiba terlintas kembali dalam kepalaku tentang Kang Aceng yang kini sudah menjadi Guru Oemar Bakri di tanah kelahirannya. Mengapa aku tidak pergi ke sana saja? Ya aku mesti ke sana. Mencari lelaki jujur. Jujur? Aku bilang jujur tentu ada alasannya. Dari dulu Kang Aceng itu kurus, lurus, badannya tidak gede-gede. Tapi jangan salah kurus bukan berarti tidak korupsi. Buktinya Andi Malarangeng yang tinggi kurus terjerat korupsi, Bung Rudi mantan kepala SKK Migas yang tubuhnya kecil juga terjerat korupsi. Kang Aceng? Semoga tidak termasuk kedalamnya. Amin.

Tapi untuk menuju rumah Kang Aceng di Garut butuh modale tidak sedikite. Aku harus menyiapkan uang untuk ongkos dan makan. Ongkos? Pasti sudah mahal. Kenaikan harga BBM sudah merubah tatanan hidup mahal menjadi semakin mahal. Walaupun katanya turun lagi, ongkos mah tetep saja tidak ikut turun. Padahal masih segar dalam ingatan. Ketika harga BBM naik supir angkutan pada gelisah. Kegelisasan mereka wujudkan dalam aksi mogok, menurunkan penumpang sembarangan sampai menaikkan ongkos seenak udelnya. Sekarang setelah harga BBM turun supir pada nyengir, kan yang naik bukan BBM saja Jang. Jadi ongkos mah tetep we sakitu. Bagi yang mempunyai kandaraan, kandaraan badak banna ampat atawa banna ngan aya sapasang tak apa-apa. Bagi mereka mah untung, ada sedikit penghematan ongkos transportasi, lah bagi aku dan sebangsaku yang biasa naik angkutan umum tidak ada pangaruhna sabab ongkos tetep sakitu. Cing atuh pamaréntah téh ari nyieun kabijakan sing karunya ka jelema leutik pantar kuring. Nu kaya tambah bahagia nu teu boga tambah sangsaria. Bener teu lur?

Kreekkk.... Pintu salah satu kamar mandi terbuka. Nyi Saodah, salah satu penghuni kamar kontrakan keluar dari kamar mandi. Dengan rambut dibalut handuk kecil keluar dengan senyum riang. Handuk besar dengan warna merah muda menutup badannya yang putih dari ujung leher sampai lutut. Wajah Nyi Saodah tersenyum kepadaku. Aku dapat merasakan kegembiraan hatinya. Semalam suaminya yang seminggu sekali menjenguknya datang dengan beragam oleh-oleh. Sepotong kue mampir ke kamarku, piringnya belum sempat aku kembalikan. Tadi pagi sebelum aku berangkat ke car free day aku berpapasan dengan Mas Parno yang akan kembali ke rumah istri pertamanya.
Kenapa bengong A?” tanya Nyi Saodah sambil berjalan di depanku.
Aku tertunduk malu. Tidak berani menatap tubuhnya. Takut.....? Ah jangan berpikir yang macam-macam. Maksudnya aku takut salah ngomong. Wangi sabun yang digunakan sangat menarik hidung. Segar rasanya. Darah muda rada-rada bergejolak.
“Ah biasa Nyi, ngalamun nu teu puguh.”
“Awas ngelamun! Nanti kabawa kusakaba-kaba!” sahut Nyi Saodah sambil berlalu di hadapanku.
Wangi tubuhnya kembali tercium semakin tajam.

Lamunanku yang sempat terhenti oleh Nyi Saodah berlanjut. Nyi Saodah bagaikan iklan televisi yang numpang lewat sejenak. Aku mulai merencanakan perjalanan ke Garut dengan menggunakan tabungan minimalis tetapi mendapatkan hasil yang maksimalis. Aku segera ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kakiku yang rada-rada bau meleuding.



Di kamar kontrakan yang sebesar sandal jepit aku mulai menyusun rencana. Sudah kubulatkan tekad akan pergi ke Garut dengan cara backpacking sebuah tren bepergian dengan cara berbekal seadanya dan menggunakan tas punggung alias ransel. Dengan kata lain aku akan berubah menjadi seorang backpacker. Seperti komik jaman dulu seorang Clark Kent (Kang Amar Kantjing : Sunda) asal USA (Urang Singaparna Asli) berubah menjadi Suparman. Aku tersenyum. Bingkai photo aku dan teman-temanku juga ikut tersenyum. Mudah-mudahan tidak ada jurignya. Tunggu aku di Garut!!!         

Tidak ada komentar: