Rabu, 14 Januari 2015

Petualangan Aa Ruslie : Call Me ATM (Bagian Satu)

Gambar Dari Google




Selepas menunaikan ibadah shalat dzuhur di mesjid belakang terminal Ledeng,  hati terasa plong. Tidak bolong. Tidak ada penat. Tidak ada titik hitam dalam pikiran. Dunia sepertinya kecil tidak ada yang perlu ditakutkan. Isi kantong boleh sekarat tetapi shalat tetap tidak boleh telat. Dengan uang di kantong menyisakan selembar wajah Sultan Mahmud Badaruddin II, kakiku berbelok menuju deretan warung nasi belakang Terminal Ledeng. Prinsip ekonomi akan aku praktekan, dengan modal minimalis akan mendapatkan hasil yang maksimalis artinya dengan uang sepuluh ribu isi perut harus kenyang.

Masuk ke dalam sebuah warung, mataku mulai bermain mata dengan hidangan yang tersaji. Hidungku yang sedari tadi mencium wangi goreng ayam mengirim pesan kepada perut agar bersabar, tidak usah malu-maluin mengeluarkan dendang lapar. Sebab sekali nada suara mengalun keluar akan mengundang lirikan mata serta senyuman tipis bermakna nada sindiran dari orang-orang di sekitar. Neng Ijah, pelayan warung nasi tangannya cekatan meraih piring yang tiba-tiba sudah terisi nasi putih yang mengepul.
“Makan sama apa Mas?”
Aku tidak segera memberi jawaban. Otak kananku memberi sinyal agar mata berputar sejenak ke arah meja makan. Mata jelalatan dan berhenti tepat di tumpukan selada dan semangkuk kecil sambal.
“Telur dadar sama sayur sop,” kataku mantap.
Neng Ijah tersenyum. Senyum gado-gado antara keramahan seorang pelayan dan senyum mengejek. Mungkin dalam hatinya bicara, ini orang kalau tidak makan dengan telur, pasti dengan tahu tempe. Simbol makanan kasta menengah ke bawah. Pesan makan dengan ayam bisa dihitung pake jari. Neng Ijah kagak tahu, sebenarnya aku sedang menghemat, mengumpulkan rupiah yang sebenarnya aku sendiri kagak tahu mau digunakan untuk apa. Pokoknya ikut program pemerintah, mari menabung, jaminan masa depan.

Duduk di pojok, dekat lalab dan sambel adalah kemenangan terbesar bagiku atas senyum ejekan Neng Ijah. Dengan lahap aku menghabiskan lembar demi lembar selada yang masih segar hingga tidak terasa mangkuk sambal dengan selada segarnya tinggal separo dari tempatnya. Telur dadar masih utuh, nasi tinggal separo, perut tersenyum senang. Aku tidak menyadari bahwa cara makanku dengan menerapkan prinsip ekonomi tidak lepas dari tatapan kesal Neng Ijah. Tanpa sepengatahuanku, Neng Ijah beberapa kali menahan napas, menggeleng-gelengkan kepala, dan mata mendelik. Menghitung lembar demi lembar selada yang meluncur deras ke dalam perutku. Dia tidak mampu berbuat apa-apa, sebab dia juga mengetahui bahwa pembeli adalah raja. Sayuran dan sambal sengaja dihidangkan secara gratis demi membahagiakan konsumen. Namun akan celaka jadinya apabila semua konsumen seperti aku. Terbayang dalam benaknya harga cabai dan sayuran yang terus melambung.
“Berapa?”
“Delapan ribu,” jawab Neng Ijah singkat.
Aku ngeloyor pergi tanpa memperhatikan wajah Neng Ijah yang kesal.

Di Terminal Ledeng aku memperhatikan kerumunan orang dengan wajah tidak ramah. Rupanya, para calon penumpang itu kesal, marah, dan kurang sabar. Bis kota, tumpangan ekonomis di kala krisis duitis, yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba di terminal. Beberapa angkot yang masuk terminal tidak banyak menurunkan penumpang. Semua lewat di depan mataku seperti aquarium kosong tanpa ada ikan berenang di dalamnya. Sedangkan di depan Terminal Ledeng alias di Jalan Setiabudhi terdengar deru mesin dan klakson bersahutan berlomba menghiasi langit. Seorang polisi gendut lengkap dengan atribut seragamnya yang basah oleh keringat terekam kewalahan mengatur lalu lintas. Kemacetan yang sangat parah sepertinya mengular sampai Setiabudhi bawah. Kendaraan berebut menjadi yang paling depan menuju arah Lembang.

Bagiku sebenanya peristiwa ini adalah hal yang biasa. Kemacetan, bunyi klakson bersahutan, hingga umpatan orang-orang marah adalah hal biasa di kala akhir pekan atau liburan panjang seperti sekarang ini. Siapa yang salah? Mempunyai kandaraan banna ampat atawa bannna sapasang bukan lagi sebuah kebutuhan. Tetapi sudah menjadi lifestyle alias gaya hidup. Contoh kecil, Jang Nana, yang baru saja resmi menjadi mahasiswa, ngamuk-ngamuk, pundung eumbung kuliah. Gara-garana sepele, minta motor pada bapaknya tapi tidak diberi. Padahal menurut saya yang pangalaman salama kuliah, jarak kamar kontrakan dengan kampus kagak jauh alias dekat. Jalan kaki sudah cukup. Ya... Hitung-hitung olahraga. Jang Nana lupa kali dengan mens sana in corpore sano (dibalik permen ada nano-nano). Ah dasar Jang Nana manja. Saya mah tak tahan tatap wajah bapaknya.

Contoh lagi keluarga Bah Amin. Dalam rumahnya kandaraan banna ampat aya lima. Hiji boga Bah Amin jang ka kantor, dua jang Ibu Amin jang arisan jeung ka pasar, tilu jang anakna Bah Amin anu kuliah, opat jang anakna Bah Amin anu sakola di es em a, lima jang anak Bah Amin anu sakola di sakola dasar, jang antar jemput cenah. Coba aku hitung, seandainya semua mobil berangkat bersama-sama dengan bensin satu liter seharga Rp 7600 sudah 5 x 7600 sama dengan 38000. Bandingkan dengan Mang Udin yang mempunyai kandaraan banna sapasang, dengan satu liter bensin dapat mengantar istrinya ke pasar, dua anaknya ke sekolah dasar, dan ke tempat kerjanya Mang Udin. Bayangkan satu sepeda motor dinaiki berempat. Yang penting hemat kecelakaan mah nomor kesekian. Kalau dihitung 1 liter seharga Rp 7600 dibagi empat masing-masing menghabiskan Rp 1900. Coba anda bandingkan biaya bensin Bah Amin dengan Mang Udin. Jadi sebenarnya yang menikmati BBM itu orang-orang berduit atau orang-orang tidak berduit. Jangan dimasukin ke ati itu mah itungan-itungan versi orang-orang kejepit seperti aku. Mungkin terlalu subjektif.

Padahal dalam UUD 1945 yang dilahirkan dan diamandemen oleh orang-orang pintar negeri ini dikatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Begitu pun cabang-cabang yang penting bagi negara yang menguasai hidup orang banyak serta kekayaan alam, semuanya harus dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Itu kata UUD 1945 bukan kata mulutku yang serampangan. Nyatanya, ekonomi dikuasai oleh segelintir orang, koperasi sebagai satu-satunya badan usaha yang berazas kekeluargaan,  hidup segan mati tak mau dan akhirnya mati sendiri. Aku sendiri berada dalam lingkaran itu. Tidak dapat berbuat apa-apa. Aku sendiri bingung apakah aku ini korban atau pelaku dalam lingkaran kapitalisme dan liberalisme yang semakin hari akarnya semakin menghujam ke jantung negeri ini. Virus hedonisme, konsumerisme, egoisme, serta tuturutisme lahir dan menyebar ke seluruh negeri yang katanya agamis dan ramah tamamis. Ah... Sudahlah pikiranku terlalu jauh, bisa-bisa kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki mikirin negeri ini. Sementara para politisi sibuk mengurus diri sendiri dan koleganya. A....! A....! Sudah... Sudah...!” Ups lupa.. Aku kan mau pergi ke ATM.             

Jumat, 09 Januari 2015

Petualangan Aa Ruslie : Mencari Lelaki Jujur (Bagian Dua)

Photo Dari Google




Aku tatap bingkai photo berisikan mahluk-mahluk manis bin culun dan rada-rada muke gile. Kang Aceng dengan rambut grandong tersenyum lebar, saking lebarnya bibirnya pun jadi cewaw, mirip dalam salah satu kartun Benny & Mice. Menurut penelusuran Algaruteapedia, salah satu situs tidak terkenal dari Garut, Kang Aceng, sahabatku ini masih saudara jauh, jauh sekali dari Kang Aceng Fikri mantan orang paling penting di Garut yang tenar dan beken ke seluruh nagreg dan luar nagreg gara-gara kasus pernikahannya yang  teramat sangat singkat dengan gadis yang masih anak bawang. Seharusnya peristiwa ini dicatat dalam rekor Mang Muri atau Guinnes World Record sebagai pasangan ter.... silahkan isi sendiri. Hubungan Kang Aceng sahabatku dengan Kang Aceng ini adalah sama-sama namanya Aceng, trah Garut asli, bukan kw.

Kang Aceng dilahirkan dan dibesarkan oleh ayah bundanya di daratan Garut alias Swiss van Java, sebuah kota kecil yang terletak sekitar 63 KM di tenggara Kota Bandung. Seandainya Kang Aceng dilahirkan di Tiongkok ayah bundanya pasti kasih nama itu anak, A Cheng, Cheng Lie, Cheng Chuang Chang Chang, ya pokone serba Cheng lah asal jangan Ceng Mamad, da soalna éta ogé asli urang Garut. Kalau lahir di India, pastinya dia punya nama Khan Aceng (baca  : Kang Aceng) atau Amita Bah Ceng (bintang film India). Kalau lahir di Hollywood ayah bundanya bakal memberi nama Aceng Cruise atau Bradd Aceng, atau mungkin juga Geoge Aceng Clooney, ah moal aya eta mah, terlalu memaksakan, nanti tidak baik. Cukup Aceng saja asli dari Swiss Van Java, biar rada keren padahal Garut.

Aku mengenal Kang Aceng pada jamannya aku masih ganteng. Tapi bukan ganteng-ganteng sridomba (srigala berbulu domba). Tayangan-tayangan seperti itu belum hadir di layar kaca. Sekarang? Tetap gantenglah. Alasannya sederhana seandainya aku cantik, pasti kelelakianku dipertanyakan. Masa laki-laki cantik? Nanti aku disangka salah satu anggota Lady Boy, penari yang wara wiri pentas bin manggung di negeri tetangga Gajah Bengkak, upsss.... Gajah Putih, negaranya Mang Kosin Hathairattanakool yang pernah menjadi penjaga gawang Persib Bandung. Kang Aceng pria sederhana, jujur, lugu, dan bijaksana. Sifat yang dimiliki Kang Aceng ini timbul sebagai akibat tergila-gilanya beliau pada Iwan Fals. Maaf bukan Iwan Banna. Jadi wajar bila lirik lagu Hatta ini semacam inspirasi hidupnya.

Kang Aceng adalah lelaki humoris, lebih heboh daripada Tukul Arwana. Jika Tukul dapat membawakan acara empat mata, Kang Aceng bisa membawakan acara sepuluh mata sebab bintang tamunya Rahwana alias Dasamuka dari negeri Alengka. Kang Aceng lebih pemberani dibandingkan dengan Harry Pantja, lelaki pelontos pembawa acara dunia lain. Jika Harry Pantja berani menghadapi dunia lain, Kang Aceng lebih berani lagi menghadapi dunia lain-lain. Konon karena di dunia lain-lain alias terpencil kekurangan guru karena guru-guru yang sudah diangkat di daerah terpencil sebagian minta dimutasi ke daerah tidak terpencil alias kota, penghuni daerah terpencil menculik Kang Aceng untuk menjadi pengajar di sana. Kang Aceng bukannya menjadi takut, malahan senang karena sebagai balasan mengajar para orang tua murid daerah terpencil memberi hadiah Sang Oemar Bakri, sampeu sareung hui makanan kesukaannya.

Salah satu  kebiasaan buruk Kang Aceng adalah merokok seperti kereta api tidak pernah berhenti mengeluarkan asap baik dari mulut, hidung, telinga bahkan lubang anus yang mengeluarkan bau busuk sebusuk telur busuk. Tetapi itu masih bisa dimaklumi dan disyukuri karena Kang Aceng tidak pernah menikmati narkoba. Bandingkan dengan empat pejabat Garut yang kedapatan pakai sabu waktu di tes urine oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Garut. Bagaimana bisa orang-orang seperti itu menjadi teladan bagi warga Garut. Malu-maluin. Kang Aceng sering teribat pesta narkoba denganku. Tetapi narkoba dalam bahasa Jerman. Narkoba = N.. dahar, Ng.. ngaroko, Em... bareung.

Ingat Kang Aceng ingat jaman masa kuli... ah. Sebagai anak kost yang rada-rada kere alias sering kehabisan duit buat makan tidak usaha bingung. Aku mah tinggal hubungi no 022 sekian-sekian. Cukup datang ke kamar kontrakan Kang Aceng, pasti disuguhan. Dan aku suka pura-pura mau da lapar. Pilihan hidup aku dan Kang Aceng berbeda, beliau memilih menjadi Oemar Bakri, tetapi bukan Oemar Bakri jaman dulu yang banyak makan hati dan gajinya dikebiri. Sekarang mah Oemar Bakri sudah sejahtera walaupun sebagian masih banyak yang makan hati terutama yang berstatus honorer. Sedangkan aku memilih menjadi karyawan kelas sandal jepit dengan penghasilan tidak selangit tetapi cukup untuk beli wajit Cililin.

Puas memandangi bingkai photo jaman purbakala, aku mulai mencurat coret kertas putih untuk menuliskan keperluan selama perjalanan ke Garut. Pokoknya liburan yang cukup singkat dan padat ini akan aku manfaatkan untuk menemui sahabatku yang sudah lama tidak berjumpa. Dari radio kecil terdengar nyaring suara Iwan Fals melagukan Belum Ada Judul.
 Pernah kita sama sama susah
Terperangkap didingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah lelap

Pernah kita sama sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah kau...

Lagu itu terus mengalun, menusuk hati, menembus dinding kamar kontrakan, mengurai masa silam yang tidak akan pernah kembali lagi. Kamar kontrakan sekelas sandal jepit ini menjadi saksi tentang persahabatan yang akan terus terjalin dan menjadi cerita bagi anak dan cucu kita.

Jam berdetak detik demi detik mendekati waktu shalat zuhur. Aku segera bergegas sekalian shalat zuhur di mesjid (ini wajib bagi laki-laki) sekalian makan siang, dan mencari keperluan untuk perjalan ke Garut.

Sabtu, 03 Januari 2015

Petualangan Aa Ruslie : Mencari Lelaki Jujur (Bagian Satu)

Photo dari Google



Akhirnya ujung kaki menapak di pelataran kamar kontrakan. Lelah tubuh aku sandarkan pada sepotong papan berbentuk kursi tidak beraturan. Ujung jari kaki yang menjulur dari sobekan jendela sepatu, aku keluarkan pelan-pelan. Bau khas dari kaki telanjang tidak berkaus kaki menusuk hidung mengalahkan segarnya angin yang mengipas-ngipas seluruh tubuh. Suasana kontrakan sepi, maklum hari Minggu, sebagian penghuninya masih bercengkrama dalam dunia bantal sedangkan sebagian lagi entah kemana, mungkin sedang berjalan-jalan ria menikmati pagi dan belum kembali.

Dari kamar mandi yang terletak di seberang terdengar gemericik air yang ditumpahkan dari gayung. Pintu kedua kamar mandi itu tertutup rapat. Di sampingnya, di tempat pencucian ditelan sepi tidak terdengar senda gurau orang mencuci pakaian atau gelas piring kotor. Aku rehat sejenak, menarik napas panjang. Apa yang akan aku lakukan hari ini? Gelap..... Uang di kantong kosong. Tidak berbekas. Ke ATM? Males jauh.... Isinya juga paling tinggal berapa. Maklumlah pegawai rendahan. Akhir bulan memble. Mikiran biaya hidup yang terus melambung tidak akan selesai-selesai. Jika banyak diberitakan tentang rekening gendut di koran-koran, aku mah sebaliknya rekening kurus kurang gizi gak gendut-gendut tapi masih lumayan tidak terkena rekening busung lapar. Artinya aku harus tetap berkata alhamdulillah. Betul gak?

Tiba-tiba terlintas kembali dalam kepalaku tentang Kang Aceng yang kini sudah menjadi Guru Oemar Bakri di tanah kelahirannya. Mengapa aku tidak pergi ke sana saja? Ya aku mesti ke sana. Mencari lelaki jujur. Jujur? Aku bilang jujur tentu ada alasannya. Dari dulu Kang Aceng itu kurus, lurus, badannya tidak gede-gede. Tapi jangan salah kurus bukan berarti tidak korupsi. Buktinya Andi Malarangeng yang tinggi kurus terjerat korupsi, Bung Rudi mantan kepala SKK Migas yang tubuhnya kecil juga terjerat korupsi. Kang Aceng? Semoga tidak termasuk kedalamnya. Amin.

Tapi untuk menuju rumah Kang Aceng di Garut butuh modale tidak sedikite. Aku harus menyiapkan uang untuk ongkos dan makan. Ongkos? Pasti sudah mahal. Kenaikan harga BBM sudah merubah tatanan hidup mahal menjadi semakin mahal. Walaupun katanya turun lagi, ongkos mah tetep saja tidak ikut turun. Padahal masih segar dalam ingatan. Ketika harga BBM naik supir angkutan pada gelisah. Kegelisasan mereka wujudkan dalam aksi mogok, menurunkan penumpang sembarangan sampai menaikkan ongkos seenak udelnya. Sekarang setelah harga BBM turun supir pada nyengir, kan yang naik bukan BBM saja Jang. Jadi ongkos mah tetep we sakitu. Bagi yang mempunyai kandaraan, kandaraan badak banna ampat atawa banna ngan aya sapasang tak apa-apa. Bagi mereka mah untung, ada sedikit penghematan ongkos transportasi, lah bagi aku dan sebangsaku yang biasa naik angkutan umum tidak ada pangaruhna sabab ongkos tetep sakitu. Cing atuh pamaréntah téh ari nyieun kabijakan sing karunya ka jelema leutik pantar kuring. Nu kaya tambah bahagia nu teu boga tambah sangsaria. Bener teu lur?

Kreekkk.... Pintu salah satu kamar mandi terbuka. Nyi Saodah, salah satu penghuni kamar kontrakan keluar dari kamar mandi. Dengan rambut dibalut handuk kecil keluar dengan senyum riang. Handuk besar dengan warna merah muda menutup badannya yang putih dari ujung leher sampai lutut. Wajah Nyi Saodah tersenyum kepadaku. Aku dapat merasakan kegembiraan hatinya. Semalam suaminya yang seminggu sekali menjenguknya datang dengan beragam oleh-oleh. Sepotong kue mampir ke kamarku, piringnya belum sempat aku kembalikan. Tadi pagi sebelum aku berangkat ke car free day aku berpapasan dengan Mas Parno yang akan kembali ke rumah istri pertamanya.
Kenapa bengong A?” tanya Nyi Saodah sambil berjalan di depanku.
Aku tertunduk malu. Tidak berani menatap tubuhnya. Takut.....? Ah jangan berpikir yang macam-macam. Maksudnya aku takut salah ngomong. Wangi sabun yang digunakan sangat menarik hidung. Segar rasanya. Darah muda rada-rada bergejolak.
“Ah biasa Nyi, ngalamun nu teu puguh.”
“Awas ngelamun! Nanti kabawa kusakaba-kaba!” sahut Nyi Saodah sambil berlalu di hadapanku.
Wangi tubuhnya kembali tercium semakin tajam.

Lamunanku yang sempat terhenti oleh Nyi Saodah berlanjut. Nyi Saodah bagaikan iklan televisi yang numpang lewat sejenak. Aku mulai merencanakan perjalanan ke Garut dengan menggunakan tabungan minimalis tetapi mendapatkan hasil yang maksimalis. Aku segera ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kakiku yang rada-rada bau meleuding.



Di kamar kontrakan yang sebesar sandal jepit aku mulai menyusun rencana. Sudah kubulatkan tekad akan pergi ke Garut dengan cara backpacking sebuah tren bepergian dengan cara berbekal seadanya dan menggunakan tas punggung alias ransel. Dengan kata lain aku akan berubah menjadi seorang backpacker. Seperti komik jaman dulu seorang Clark Kent (Kang Amar Kantjing : Sunda) asal USA (Urang Singaparna Asli) berubah menjadi Suparman. Aku tersenyum. Bingkai photo aku dan teman-temanku juga ikut tersenyum. Mudah-mudahan tidak ada jurignya. Tunggu aku di Garut!!!