Gambar Dari Google
Selepas
menunaikan ibadah shalat dzuhur di mesjid belakang terminal Ledeng, hati terasa plong. Tidak bolong. Tidak ada
penat. Tidak ada titik hitam dalam pikiran. Dunia sepertinya kecil tidak ada
yang perlu ditakutkan. Isi kantong boleh sekarat tetapi shalat tetap tidak
boleh telat. Dengan uang di kantong menyisakan selembar wajah Sultan Mahmud
Badaruddin II, kakiku berbelok menuju deretan warung nasi belakang Terminal
Ledeng. Prinsip ekonomi akan aku praktekan, dengan modal minimalis akan
mendapatkan hasil yang maksimalis artinya dengan uang sepuluh ribu isi perut
harus kenyang.
Masuk
ke dalam sebuah warung, mataku mulai bermain mata dengan hidangan yang tersaji.
Hidungku yang sedari tadi mencium wangi goreng ayam mengirim pesan kepada perut
agar bersabar, tidak usah malu-maluin mengeluarkan dendang lapar. Sebab sekali
nada suara mengalun keluar akan mengundang lirikan mata serta senyuman tipis
bermakna nada sindiran dari orang-orang di sekitar. Neng Ijah, pelayan warung
nasi tangannya cekatan meraih piring yang tiba-tiba sudah terisi nasi putih
yang mengepul.
“Makan
sama apa Mas?”
Aku
tidak segera memberi jawaban. Otak kananku memberi sinyal agar mata berputar sejenak
ke arah meja makan. Mata jelalatan dan berhenti tepat di tumpukan selada dan
semangkuk kecil sambal.
“Telur
dadar sama sayur sop,” kataku mantap.
Neng
Ijah tersenyum. Senyum gado-gado antara keramahan seorang pelayan dan senyum mengejek.
Mungkin dalam hatinya bicara, ini orang kalau tidak makan dengan telur, pasti dengan
tahu tempe. Simbol makanan kasta menengah ke bawah. Pesan makan dengan ayam
bisa dihitung pake jari. Neng Ijah kagak tahu, sebenarnya aku sedang menghemat,
mengumpulkan rupiah yang sebenarnya aku sendiri kagak tahu mau digunakan untuk
apa. Pokoknya ikut program pemerintah, mari menabung, jaminan masa depan.
Duduk
di pojok, dekat lalab dan sambel adalah kemenangan terbesar bagiku atas senyum
ejekan Neng Ijah. Dengan lahap aku menghabiskan lembar demi lembar selada yang
masih segar hingga tidak terasa mangkuk sambal dengan selada segarnya tinggal
separo dari tempatnya. Telur dadar masih utuh, nasi tinggal separo, perut
tersenyum senang. Aku tidak menyadari bahwa cara makanku dengan menerapkan
prinsip ekonomi tidak lepas dari tatapan kesal Neng Ijah. Tanpa
sepengatahuanku, Neng Ijah beberapa kali menahan napas, menggeleng-gelengkan
kepala, dan mata mendelik. Menghitung lembar demi lembar selada yang meluncur
deras ke dalam perutku. Dia tidak mampu berbuat apa-apa, sebab dia juga mengetahui
bahwa pembeli adalah raja. Sayuran dan sambal sengaja dihidangkan secara gratis
demi membahagiakan konsumen. Namun akan celaka jadinya apabila semua konsumen
seperti aku. Terbayang dalam benaknya harga cabai dan sayuran yang terus
melambung.
“Berapa?”
“Delapan
ribu,” jawab Neng Ijah singkat.
Aku
ngeloyor pergi tanpa memperhatikan wajah Neng Ijah yang kesal.
Di
Terminal Ledeng aku memperhatikan kerumunan orang dengan wajah tidak ramah. Rupanya,
para calon penumpang itu kesal, marah, dan kurang sabar. Bis kota, tumpangan
ekonomis di kala krisis duitis, yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba di
terminal. Beberapa angkot yang masuk terminal tidak banyak menurunkan
penumpang. Semua lewat di depan mataku seperti aquarium kosong tanpa ada ikan
berenang di dalamnya. Sedangkan di depan Terminal Ledeng alias di Jalan
Setiabudhi terdengar deru mesin dan klakson bersahutan berlomba menghiasi
langit. Seorang polisi gendut lengkap dengan atribut seragamnya yang basah oleh
keringat terekam kewalahan mengatur lalu lintas. Kemacetan yang sangat parah
sepertinya mengular sampai Setiabudhi bawah. Kendaraan berebut menjadi yang paling
depan menuju arah Lembang.
Bagiku
sebenanya peristiwa ini adalah hal yang biasa. Kemacetan, bunyi klakson
bersahutan, hingga umpatan orang-orang marah adalah hal biasa di kala akhir
pekan atau liburan panjang seperti sekarang ini. Siapa yang salah? Mempunyai kandaraan banna ampat atawa bannna sapasang bukan
lagi sebuah kebutuhan. Tetapi sudah menjadi lifestyle
alias gaya hidup. Contoh kecil, Jang Nana, yang baru saja resmi menjadi
mahasiswa, ngamuk-ngamuk, pundung eumbung
kuliah. Gara-garana sepele, minta motor pada bapaknya tapi tidak diberi.
Padahal menurut saya yang pangalaman
salama kuliah, jarak kamar kontrakan dengan kampus kagak jauh alias dekat.
Jalan kaki sudah cukup. Ya... Hitung-hitung olahraga. Jang Nana lupa kali
dengan mens sana in corpore sano (dibalik
permen ada nano-nano). Ah dasar Jang Nana manja. Saya mah tak tahan tatap wajah
bapaknya.
Contoh
lagi keluarga Bah Amin. Dalam rumahnya kandaraan
banna ampat aya lima. Hiji boga Bah
Amin jang ka kantor, dua jang Ibu Amin jang arisan jeung ka pasar, tilu jang
anakna Bah Amin anu kuliah, opat jang anakna Bah Amin anu sakola di es em a,
lima jang anak Bah Amin anu sakola di sakola dasar, jang antar jemput cenah. Coba
aku hitung, seandainya semua mobil berangkat bersama-sama dengan bensin satu liter
seharga Rp 7600 sudah 5 x 7600 sama dengan 38000. Bandingkan dengan Mang Udin
yang mempunyai kandaraan banna sapasang,
dengan satu liter bensin dapat mengantar istrinya ke pasar, dua anaknya ke
sekolah dasar, dan ke tempat kerjanya Mang Udin. Bayangkan satu sepeda motor dinaiki
berempat. Yang penting hemat kecelakaan mah
nomor kesekian. Kalau dihitung 1 liter seharga Rp 7600 dibagi empat
masing-masing menghabiskan Rp 1900. Coba anda bandingkan biaya bensin Bah Amin
dengan Mang Udin. Jadi sebenarnya yang menikmati BBM itu orang-orang berduit
atau orang-orang tidak berduit. Jangan dimasukin ke ati itu mah itungan-itungan
versi orang-orang kejepit seperti aku. Mungkin terlalu subjektif.
Padahal
dalam UUD 1945 yang dilahirkan dan diamandemen oleh orang-orang pintar negeri
ini dikatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan. Begitu pun cabang-cabang yang penting bagi negara yang menguasai
hidup orang banyak serta kekayaan alam, semuanya harus dikuasai negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Itu kata UUD 1945 bukan
kata mulutku yang serampangan. Nyatanya, ekonomi dikuasai oleh segelintir
orang, koperasi sebagai satu-satunya badan usaha yang berazas kekeluargaan, hidup segan mati tak mau dan akhirnya mati
sendiri. Aku sendiri berada dalam lingkaran itu. Tidak dapat berbuat apa-apa.
Aku sendiri bingung apakah aku ini korban atau pelaku dalam lingkaran
kapitalisme dan liberalisme yang semakin hari akarnya semakin menghujam ke
jantung negeri ini. Virus hedonisme, konsumerisme, egoisme, serta tuturutisme lahir dan menyebar ke
seluruh negeri yang katanya agamis dan ramah tamamis. Ah... Sudahlah pikiranku terlalu jauh, bisa-bisa kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki mikirin
negeri ini. Sementara para politisi sibuk mengurus diri sendiri dan koleganya.
A....! A....! Sudah... Sudah...!” Ups lupa..
Aku kan mau pergi ke ATM.


