Rabu, 21 Oktober 2015

Pertemuan



Di tengah orkestra pagi iringan alam, di Taman Lansia, angin mempertemukanku dengan Dudung, teman semasa menimba ilmu di perguruan tinggi. Perut Dudung melebar ke depan alias gendut. Tidak berbeda dengan foto-foto narsis yang menjadi latar belakang jejaring sosial miliknya. Sejujurnya, hati kecil mengajak menjauhkan wajah darinya. Mengingat kelakuan Dudung di masa lalu.  

Dengan perasaan setengah hati. Aku melayani suara pria gendut, berkaus putih, celana putih serta kaus kaki, dan sepatu putih.
“Kemana saja Jo tidak pernah kelihatan batang hidungmu?”
“Tidak kemana-mana. Aku ada di sini kok.”
“Setiap reuni aku tidak pernah menemukan batang hidungmu? Padahal teman-teman kita sangat mengharap kehadiranmu. Datanglah sekali-kali!”
Aku menarik napas panjang. Wangi parfum tercium dari perempuan muda yang melangkah pendek-pendek. Kerudung coraknya menepis keringat yang mengucur deras di wajahnya. Di belakang, berlari seorang lelaki muda bercelana biru.*
           
Pertama kali aku menjabat tangan Dudung ketika dia berdiri tepat di bawah pohon beringin tua  yang rindang yang tumbuh di depan gedung fakultas. Badannya kurus, dibalut baju dan celana putih yang gombrang. Peci hitam agak kedodoran menutupi sedikit ujung daun telinganya. Dudung bagai burung hantu di siang bolong. Tidak banyak tingkah, irit bicara.

Seiring perputaran bola dunia. Selembar demi selembar kain yang menutup watak Dudung mulai tersingkap. Si burung hantu menjelma menjadi burung bangkai. Melayang-layang menyambar minuman keras, menjamah perempuan nakal, dan melalaikan tugas utama sebagai agen perubahan. Aku pernah menyodorkan sebuah kartu kuning kepadanya. Namun dijawab dengan santai.
“Mumpung masih muda. Nikmati saja tak usah munafik.”
Ketika aku mendorong mengikuti kegiatan sosial jawabannya enteng.
“Jangan terlalu mikirin orang lain, pikirkanlah kepentingan diri sendiri!”
Aku tidak mampu mengangkat racun yang menggerogoti tubuhnya.
           
Menjelang kejatuhan rezim orde baru, mahasiswa turun ke jalan. Tidak jarang beradu fisik dengan pentungan polisi. Angin perubahan yang bertiup kencang meminta pengorbanan dari mahasiswa. Waktu, pikiran, tenaga, tercurah demi harapan menciptakan Indonesia baru yang lebih baik. Perkuliahan mogok. Dalam persiapan demontrasi aku bertemu muka dengan Dudung yang rambutnya melewati bahu.
“Ayo Dung ikut kita ke Gasibu!”
“Ngapain panas-panas gini ke Gasibu?”
“Demi rakyat Indonesia. Mari berjuang bersama-sama!”
“Apa? Berjuang? Bukannya kita sudah merdeka? Kalian hanya mengacau saja. Demontrasi yang kalian lakukan bukannya nambah makmur negara ini tetapi malah sebaliknya bikin negara ini tambah kacau.”
Timbul amarah guna meninggalkan jejak telapak tangan di pipinya. Namun, dinginnya hati mengingatkan bahwa dia adalah temanku.
           
Angin pagi menjelang siang menyiram hati. Aku bertahan cukup lama mendengar ocehan Dudung. Mulut besarnya tidak berhenti bercerita tentang pengalaman berkunjung ke luar negeri. Ceritanya mengulang-ulang puluhan foto yang dibagikan di jejaring sosial. Nadanya  terdengar pongah. Sebelum berpisah dia mengatakan, ”Jangan lupa! Nanti bila ada reuni lagi kamu harus datang kawan. Kita makan dan minum enak bersama-sama. Menyanyikan lagu nostalgia. Tertawa gembira bersama.”
Dudung berjalan menuju gerbang Taman Lansia. Sebuah mobil putih mengkilat sudah menunggunya.
           

Kendaraan di luar Taman Lansia semakin ramai. Kehidupan menggeliat. Bising mesin terdengar semakin jelas di telinga. Pepohonan rindang melindungi kami yang masih berada di taman dari sengatan matahari. Tuntas sudah pertemuan yang tidak diharapkan ini. Perlahan-lahan aku melangkah menuju gerbang taman.

Dimuat di Banjarmasin Post Edisi 18 Oktober 2015