Di
tengah orkestra pagi iringan alam, di Taman Lansia, angin mempertemukanku
dengan Dudung, teman semasa menimba ilmu di perguruan tinggi. Perut Dudung
melebar ke depan alias gendut. Tidak berbeda dengan foto-foto narsis yang
menjadi latar belakang jejaring sosial miliknya. Sejujurnya, hati kecil mengajak
menjauhkan wajah darinya. Mengingat kelakuan Dudung di masa lalu.
Dengan
perasaan setengah hati. Aku melayani suara pria gendut, berkaus putih, celana
putih serta kaus kaki, dan sepatu putih.
“Kemana
saja Jo tidak pernah kelihatan batang hidungmu?”
“Tidak
kemana-mana. Aku ada di sini kok.”
“Setiap
reuni aku tidak pernah menemukan batang hidungmu? Padahal teman-teman kita
sangat mengharap kehadiranmu. Datanglah sekali-kali!”
Aku
menarik napas panjang. Wangi parfum tercium dari perempuan muda yang melangkah
pendek-pendek. Kerudung coraknya menepis keringat yang mengucur deras di wajahnya.
Di belakang, berlari seorang lelaki muda bercelana biru.*
Pertama
kali aku menjabat tangan Dudung ketika dia berdiri tepat di bawah pohon
beringin tua yang rindang yang tumbuh di
depan gedung fakultas. Badannya kurus, dibalut baju dan celana putih yang
gombrang. Peci hitam agak kedodoran menutupi sedikit ujung daun telinganya. Dudung
bagai burung hantu di siang bolong. Tidak banyak tingkah, irit bicara.
Seiring
perputaran bola dunia. Selembar demi selembar kain yang menutup watak Dudung
mulai tersingkap. Si burung hantu menjelma menjadi burung bangkai.
Melayang-layang menyambar minuman keras, menjamah perempuan nakal, dan melalaikan
tugas utama sebagai agen perubahan. Aku pernah menyodorkan sebuah kartu kuning
kepadanya. Namun dijawab dengan santai.
“Mumpung
masih muda. Nikmati saja tak usah munafik.”
Ketika
aku mendorong mengikuti kegiatan sosial jawabannya enteng.
“Jangan
terlalu mikirin orang lain, pikirkanlah kepentingan diri sendiri!”
Aku tidak
mampu mengangkat racun yang menggerogoti tubuhnya.
Menjelang
kejatuhan rezim orde baru, mahasiswa turun ke jalan. Tidak jarang beradu fisik
dengan pentungan polisi. Angin perubahan yang bertiup kencang meminta
pengorbanan dari mahasiswa. Waktu, pikiran, tenaga, tercurah demi harapan menciptakan
Indonesia baru yang lebih baik. Perkuliahan mogok. Dalam persiapan demontrasi
aku bertemu muka dengan Dudung yang rambutnya melewati bahu.
“Ayo
Dung ikut kita ke Gasibu!”
“Ngapain
panas-panas gini ke Gasibu?”
“Demi
rakyat Indonesia. Mari berjuang bersama-sama!”
“Apa?
Berjuang? Bukannya kita sudah merdeka? Kalian hanya mengacau saja. Demontrasi
yang kalian lakukan bukannya nambah makmur negara ini tetapi malah sebaliknya
bikin negara ini tambah kacau.”
Timbul
amarah guna meninggalkan jejak telapak tangan di pipinya. Namun, dinginnya hati
mengingatkan bahwa dia adalah temanku.
Angin
pagi menjelang siang menyiram hati. Aku bertahan cukup lama mendengar ocehan
Dudung. Mulut besarnya tidak berhenti bercerita tentang pengalaman berkunjung ke
luar negeri. Ceritanya mengulang-ulang puluhan foto yang dibagikan di jejaring
sosial. Nadanya terdengar pongah.
Sebelum berpisah dia mengatakan, ”Jangan lupa! Nanti bila ada reuni lagi kamu
harus datang kawan. Kita makan dan minum enak bersama-sama. Menyanyikan lagu
nostalgia. Tertawa gembira bersama.”
Dudung
berjalan menuju gerbang Taman Lansia. Sebuah mobil putih mengkilat sudah
menunggunya.
Kendaraan
di luar Taman Lansia semakin ramai. Kehidupan menggeliat. Bising mesin
terdengar semakin jelas di telinga. Pepohonan rindang melindungi kami yang
masih berada di taman dari sengatan matahari. Tuntas sudah pertemuan yang tidak
diharapkan ini. Perlahan-lahan aku melangkah menuju gerbang taman.
Dimuat di Banjarmasin Post Edisi 18 Oktober 2015
